Rabu, 16 Februari 2011

CAP GO MEH


Cap-Go-Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15. sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan. Artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu. Capgome mulai dirayakan di Indonesia sejak abad ke 17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Semasa dinasti Han, pada malam capgome tersebut, raja sendiri khusus keluar istana untuk turut merayakan bersama dengan rakyatnya.
Setiap hari raya baik religius maupun tradisi budaya ada asal- usulnya. Pada saat dinasti Zhou (770 - 256 SM) setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu. Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgome.

Di barat Capgome dinilai sebagai pesta karnevalnya etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari Kelenteng. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah “Tri Dharma” (Buddhism , Taoism dan Confuciusm). Nama Kelenteng sekarang ini sudah dirubah menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah agama Buddha. Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Kong Hu Chu sebagai agama.

Sedangkan sebutan nama Kelenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan “kelintingan” – lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya Kelenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Kelenteng itu, sebagai Bio baca Miao. Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.

Cagomeh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang udah tua. “Da Bo Gong” ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa. Jadi istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.

Cagomeh tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsay atau tarian singa biasanya disebut “Nong Shi”.

Sedangkan nama “barongsai” adalah gabungan dari kata Barong dalam bahasa Jawa dan Sai = Singa dalam bahasa dialek Hokkian. Singa menurut orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.

Ada dua macam jenis macam tarian barongsay yang satu lebih dikenal sebagai Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk).

Seperti layaknya binatang-binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus diberi makan berupa Angpau yang ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut “Lay See”. Untuk melakukan tarian makan laysee (Chai Qing) ini para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan silat – “Hokkian = kun tao” yang berasal dari bahasa Mandarin Quan Dao (Kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.

Didepan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang menggunakan topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut Shi Zi Lang dan penari inilah yang menggiring barongsai untuk meloncat atau bermain atraksi serta memetik sayuran. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut Xiao Mian Fo.

Pada awalnya tarian barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat. Jadi budaya atau kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dimanfaatkan atau bersinergi dengan lembaga keagamaan.

Walaupun demikian pada saat sekarang ini sudah ada aliran modern lainnya yang tidak mengkaitkan dengan upacara keagamaan sama sekali, karena mereka menilai barongsai hanya sekedar asesories untuk nari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.

Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 – 280 M.

Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan membuat boneka-boneka singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.
Tarian naga (liong) disebut “Nong Long”. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.

Naga di Cina dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di Cina merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Cina menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang Cina akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.

Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yang boleh menggunakan gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat lainnya hanya 4 jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga cakarnya hanya boleh memiliki 3 jari saja. Naga itu memiliki tiga macam warna, hijau, biru dan merah, dari warna naga tersebut kita bisa melihat kesaktiannya. Naga warna kuning adalah naga yang melambangkan raja.

Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yang panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi ketika mereka menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.

Naga tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan, maka para petani mengadakan upacara menjemur naga yang dibuat dari tanah liat untuk membalas dendam atau mendemo sang Naga yang tidak mau menurukan hujan, seakan-akan kaum tani tersebut ingin menyatakan “Rasain Lho kering dan panasnya musim kemarau ini!”

Terutama di Jkt dan sekitarnya rasanya kurang komplit apabila pawai Capgome ini tanpa di iringi oleh para pemain musik „Tanjidor“ yang menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yang terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak-budak, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai „Sklaven Orkest“.

Selasa, 01 Februari 2011

KLENTENG BOEN TEK BIO

Klenteng Boen Tek Bio dikenal luas sebagai klenteng tertua di Tangerang yang telah berumur lebih dari 3 abad, meski tidak ada data pasti tentang kapan berdirinya klenteng ini. Komunitas Cina di perkampungan Petak Sembilan diperkirakan mendirikan klenteng ini secara bergotong royong pada sekitar tahun 1684 dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Pada tahun 1844 klenteng ini mengalami renovasi dengan mendatangkan ahlinya dari negeri Cina.

Klenteng Boen Tek Bio (“tempat ibadah sastra kebajikan”) merupakan salah satu dari tiga klenteng yang besar dan berpengaruh serta berusia tua di daerah Tangerang. Dua klenteng lainnya adalah Klenteng Boen Hay Bio (berdiri 1694) dan Klenteng Boen San Bio (1689). Untuk masuk ke klenteng Boen Tek Bio, kendaraan harus diparkir di tepi Jalan Ki Samaun, dan berjalan sejauh sekitar 100 meter ke dalam lingkungan pasar lama.

Ukiran kayu dan tulisan berhuruf Cina. Kayu-kayu pada langit-langit klenteng diperkirakan dibuat pada awal tahun 1800. Berbeda dengan klenteng lain yang pernah saya kunjungi, peraturan memotret di klenteng ini ketat dan kaku.

Patung Hok Tek Tjeng Sien (Dewa Bumi) di ruang utama klenteng, dengan patung Bie Lek Hud di bagian depan. Bi Lek Hud, atau Mi Le Fo dan dalam bahasa sanskerta disebut Maitreya yang berarti “Yang Maha Pengasih dan Penolong”, adalah salah satu dewa yang sangat dihormati. Umumnya orang memuja Bie Lek Hud untuk memperoleh kekayaan dan kebahagiaan.

Sebuah hiasan gantung bergambar naga yang indah, yang juga banyak saya temukan di klenteng lain, serta ornamen kayu yang menghias dinding klenteng.

Keberadaan klenteng ini tidak lepas dari sejarah kedatangan orang Cina di kota Tangerang yang terjadi pada abad ke-15. Pada tahun 1407, seperti dicatat dalam buku sejarah Sunda berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) yang membawa tujuh kepala keluarga dengan sembilan orang gadis, terdampar di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Teluk Naga. Tujuan mereka semula adalah untuk pergi ke Jayakarta.

Pada waktu mereka meminta pertolongan kepada Sanghyang Anggalarang, penguasa daerah di bawah Sanghyang Banyak Citra dari Parahyangan, konon para pegawainya jatuh cinta pada gadis-gadis itu dan kesembilan gadis itu pun mereka kawini. Rombongan itu kemudian mendapat sebidang tanah di daerah Kampung Teluk Naga itu.

Hiasan pada hiolo yang dibuat pada tahun 1805. Salah satu versi menyebutkan bahwa pada awal abad ke 18 kaum Cina menyebut wilayah Tangerang dengan nama “Boen-Teng”, sehingga orang Cina yang tinggal di sana disebut sebagai Cina Boen Teng, yang lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi Cina Benteng.

Alunan asap hio melambai indah dari ujung batang hio yang tengah terbakar.
Versi lain asal muasal sebutan Cina Benteng adalah konon ketika itu di tepi Sungai Cisadane dekat pusat kota Tangerang yang sekarang pernah berdiri sebuah benteng yang disebut Benteng Makassar. Saat itu orang-orang Cina yang kurang mampu terpaksa harus tinggal di luar benteng, di daerah Sewan (di belakang Bendungan Pintu Air Sepuluh) dan Kampung Melayu. Dari sana kemudian muncul istilah Cina Benteng.

Sebuah lonceng tua di halaman klenteng yang konon berasal dari negeri Cina dan dibuat tahun 1835.
Kedatangan orang-orang Cina di kawasan Pasar Lama ini, berlangsung setelah peristiwa pembantaian ribuan orang Cina yang terjadi di tempat yang sekarang bernama Taman Fatahillah, Jakarta, pada tahun 1740, dalam sebuah usaha pemberontakan yang gagal.

Belanda kemudian mengirimkan orang-orang Cina untuk bertani ke daerah Tangerang dan mendirikan permukiman berupa pondok-pondok, yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Aren, Pondok Jagung, dll., selain perkampungan di Petak Sembilan di kawasan Pasar Lama ini.

Sebuah patung singa di halaman depan klenteng. Mungkin karena berada lingkungan pasar yang ramai, klenteng ini rupanya tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah namun halamannya juga dipakai sebagai tempat bersantai, ngobrol dan main catur.

Tempat pembakaran yang dibuat pada abad 19. Upacara besar yang banyak dikunjungi orang di Klenteng Boen Tek Bio adalah Upacara Gotong Toapekong yang diarak mengelilingi daerah Pasar Lama dan dihadiri oleh perwakilan dari seluruh klenteng di Indonesia. Saat itu juga ada pertunjukan Wayang Potehi yang langka. Upacara Gotong Toapekong yang pertama kali berlangsung di Tangerang pada tahun 1856 ini dilakukan setiap 12 tahun sekali, bertepatan dengan Tahun Naga, sehingga upacara berikutnya akan berlangsung pada tahun 2012.

read more :

thearoengbinangproject.com