Minggu, 03 Oktober 2010


Nasi Campur Ayam Bali Ibu Weti berlokasi di Pantai Segara Sanur, disebelah hotel Segara Village. Warung Ibu Weti menyediakan masakan nasi campur dengan ayam bumbu Bali. Campuran dalam 1 porsi terdiri dari nasi, ayam suir-nya yg pedes, sayur urab, telor bumbu, ikan tuna bumbu, dan sambal khas Bali.

Rasa nasi campur ayam Bali ini, muantap dan porsinya guede banget. Ibu Weti ini berjualan hanya dua jam, yaitu mulai dari jam 8 pagi dan tutup jam 10 pagi. Dalam 2 jam, masakan Ibu Weti langsung habis karena sebelum warungnya buka. Orang-orang sudah pada ngantri mau sarapan, warungnya sangat sederhana dan tempat duduknya hanya menyediakan kursi panjang 2 buah. Rasanya emang mantap. Harga nasi campur ayam tergolong murah yaitu hanya 7.500.-/porsi. Anda ingin mencoba nasi campur ayam Bali masakan Ibu Weti, silakan datang di Jln Segara, Sanur,
Bali, Indonesia

Jumat, 01 Oktober 2010

Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja
Jawa pada waktu itu.

Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti adalah Nicolaas Harting yang menjabat sebagai Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouveurneur en Directuer van Java’s noordkust) sejak bulan Maret 1754. Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Abdul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatullah I. Sedangkan Kasuhunan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III.

Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan HB I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titah tersebut segera dibuka hutan beringin dimana ditempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan HB I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta.

Selain sebagai Panglima Perang yang tangguh Sri Sultan HB I adalah juga seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755 dan pada hari Kamis Pahing 7 Oktober 1756 meski belum selesai secara sempurna Sultan dan keluarganya berkenan untuk menempatinya.

Setelah Kraton mulai ditempati kemudian beridiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya, misalnya bangunan kediaman Sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran yang selesai pada tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai pada tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan pada tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai pada tahun 1777. Dan akhirnya Bangsal Kencana selesai pada tahun 1792.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan pembangunan kraton yang didirikan Sri Sultan HB I menimbulkan rasa kekhawatiran pada pihak Belanda sehingga diajukanlah usul untuk membangun sebuah benteng disekitar wilayah kraton. Dalih yang digunakan adalah agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi maksud sesungguhnya Belanda adalah untuk memudahkan melakukan kontrol perkembangan yang terjadi di kraton. Hal ini bisa dilihat dari letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya menghadap ke jalan utama menuju kraton merupakan indikasi utama bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa beridirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi ‘kekuatan’ yang sulit dilawan oleh pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda termasuk Sri Sultan HB I, oleh karena itu usulan pembangunan benteng dikabulkan.

Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang, pada tahun 1760, atas permintaan Belanda, Sri Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut sebagai seleka atau bastion yang menyerupai bentuk kura-kura dengan keempat kakinya. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaning (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Menurut Nicolas Harting, benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Temboknya terbuat dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren, sedangkan bangunan didalamnya terdiri atas bambu dan kaui dengan atap ilalang.

Ketika Nicolas Harting digantikan oleh W.H Ossenberch pada tahun 1765, diusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan dan selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Konstruksi-nya menggunakan semen merah, gamping, pasir dan batu bata. Menurut rencana pembangunannya akan selesai pada tahun itu juga tetapi pada kenyataannya proses pembangunan berjalan sangat lambat dan baru selesai pada tahun 1787, hal ini karena pada masa tersebut Sultan juga sedang giat-giatnya melakukan pembangunan Kraton Yogyakarta sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi untuk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Benteng Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merubuhkan bangunan-bangunan antara lain Gedung Residen, Tugu Pal Putih dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan lain. Seluruh bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Untuk Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai dibangun kembali, nama Benteng Rustenburg berganti menjadi “Benteng Vredeburg” yang artinya “Benteng Perdamaian”. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dan Belanda yang tidak saling menyerang pada waktu itu.

Bentuk benteng tetap seperti awal dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut “seleka” atau “bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Didalamnya terdapat bangunan-bangunan seperti rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Penghuni benteng sendiri pada waktu itu mencapai 500 orang prajurit termasuk petugas medis dan para medis.

Pada masa pemerintahan Belanda, benteng ini juga memiliki fungsi sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta karena kantor residen letaknya berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.

Seiring dengan perkembangan politik di Indonesia maka status kepemilikan Benteng Vredeburg juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal berdirinya benteng ini adalah milik Kraton walaupun dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC). Kebangkrutan VOC pada periode 1788-1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur Van Den Burg sampai ke pemerintahan Gubernur Daendels. Ketika Inggris berkuasa maka benteng dibawah penguasaan Gubernur Jenderal Raffles. Status benteng sempat kembali ke pemerintahan Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang di bulan Maret 1942.

Pada tanggal 9 Agustus 1980 dengan persetujuan Sri Sultan HB IX Benteng Vredeburg dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan Budaya Nusantara dan pada tanggal 16 April 1985 dilakukan pemugaran untuk dijadikan Museum Perjuangan. Museum ini dibuka untuk umum pada tahun 1987. Tanggap 23 November 1992 Benteng Vredeburg resmi menjadi “Museum Perjuangan Nasional” dengan nama “Museum Benteng Vredeburg”

Karena telah difungsikan sebagai museum modern, Benteng Vredeburg memiliki koleksi lengkap meliputi koleksi bangunan, koleksi realia, koleksi foto termasuk miniatur dan replika serta koleksi lukisan. Selain itu terdapat pula 4 ruang pameran minirama sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Dengan penuturan pemandu yang jelas dan tidak membosankan niscaya keinginan anda untuk disegarkan kembali tentang perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan akan terpenuhi tanpa –lagi-lagi- merasa digurui.
Istana Kepresidenan Yogyakarta: Terletak di ujung selatan Jalan Akhmad Yani (yang dahulu jalan Malioboro); Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kotamadya Yogyakarta. Kompleks ini dibangun di atas lahan seluas 43.585 meter persegi, sejak didirikannya Istana Yogyakarta tidak banyak berubah. Di halaman serambi depan tampak sebuah patung raksasa penjaga pintu (dwarapala) setinggi dua meter. Selain itu, terdapat sebuah tugu Dagoba (yang oleh orang Yogyakarta disebut Tugu Lilin) setinggi tiga setengah meter, yang senantiasa menyalakan api semu di puncaknya. Tugu ini terbuat dari batu andesit. Halaman belakang istana ditumbuhi oleh pepohonan besar dan tinggi yang dedaunannnya amat lebat dan rindang sehingga tampak seakan merindangi bangunan istana. Istana Kepresidenan Yogyakarta dikenal juga dengan nama Gedung Agung atau Gedung Negara, salah satu fungsi gedung utama istana, yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung.

Istana Kepresidenan Dari Depan Riwayat Istana Kepresidenan Yogyakarta bermula dari rumah kediaman resmi Residen Ke-18 di Yogyakarta (1823 – 1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan pemrakarsa pembangunan Gedung Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 oleh A. Payen yaitu arsitek yang ditunjuk oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Pembangunan gedung ini sempat tertunda karena pecahnya Perang Diponegoro (1825 – 1830) dan dilanjutkan setelah perang itu usai (1832). Beberapa gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E. Jesper (1926 – 1927); P.R.W. van Gesseler Verschuur (1929 – 1932); H.M. de Kock (1932 – 1935); J. Bijlevel (1935 – 1940); serta L. Adam (1940 – 1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.

Gdung Induk R. Garuda Pada tanggal 6 Januari 1946 Yogyakarta resmi menjadi ibu kota baru Republik Indonesia setelah pemerintah Republik Indonesia berhijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak saat itu Gedung Agung berubah menjadi Istana Kepresidenan, rumah kediaman Presiden Soekarno, Presiden I RI beserta keluarganya.

Pada tanggal 28 Desember 1949, Presiden berpindah ke Jakarta, sehingga istana ini tidak lagi menjadi tempat kediaman Presiden. Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Parade Senja pada setiap tanggal 17, di samping untuk Acara Perkenalan Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan sejak 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta digunakan sebagai tempat memperingati Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk DI Yogyakarta.