Minggu, 17 April 2011

MUSEUM KARTINI

Selain cukup terkenal dengan wisata pantainya, seperti Pantai Kartini, Pantai Bandengan dan Pantai Benteng Portugis, Jika anda datang ke Kota Jepara jangan lewatkan untuk mampir ke Museum R.A.Kartini yang berada di tengah-tengah jantung Kota Jepara, Jalan Alun-alun No.1 Jepara sebelah barat daya Pendapa Kabupaten Jepara. Lokasinya memang sangat strategis, persisnya sebelah timur Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten, sebelah selatan Alun-alun dan Masjid Besar, sebelah barat Kodim Jepara dan sebelah utara shopping centre ( Pusat Perbelanjaan ).

Museum R.A.Kartini sendiri didirikan pada tanggal 30 Maret 1975 atas usulan wakil-wakil rakyat Jepara dan didukung bantuan dari mantan Presiden Soeharto, pada era Jepara dipimpin oleh Bupati Suwarno Djojo Mardowo, S.H. dan diresmikan pada tanggal 21 April 1977 tepat seabad peringatan R.A.Kartini oleh Bupati Jepara, Sudikto S.H. Museum ini didirikan sebagai penghargaan terhadap R.A.Kartini perintis emansipasi Wanita Indonesia.Dan saat ini dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Pemerintah Daerah kabupaten Jepara.

Museum R.A.Kartini berdiri di atas tanah seluas 5.210 meter persegi, dengan luas bangunan 890 meter persegi yang terdiri atas beberapa gedung. Selain menyajikan benda-benda peninggalan R.A.Kartini maupun kakaknya R.M.P. Sosrokartono, juga menyimpan benda-benda kuno peninggalan sejarah dan budaya hasil temuan di wilayah Kabupaten Jepara. Dimana lokasi museum tersebut terbagi dalam empat ruangan besar. Ruang Pertama berisi koleksi peninggalan R.A.Kartini berupa benda peninggalan dan foto semasa hidupnya. Diantaranya adalah meja, kursi, foto-foto Kartini, Radio, koleksi piring Kartini, Gerobag Kartini dan lain-lain.

Ruang Kedua berisi benda-benda peninggalan Drs. R.M. Panji Sosrokartono ( Kakak R.A.Kartini). Raden Sosrokartono merupakan lulusan Universitas Leiden-Belanda, Dimana beliau menguasai sembilan bahasa asing timur, 17 bahasa asing barat. Dan semasa hidupnya terkenal dengan “Dokter Air Putih” karena selalu memberi pengobatan dengan air dan kata agung Alif . Ruang Ketiga berisi koleksi benda-benda yng bernilai sejarah antara lain terdapat tulang ikan raksasa “Joko Tuwo” dengan panjang kurang lebih 16 meter, berat kurang lebih 6 ton, lebar 4 meter, tinggi 2 meter dan kurang lebih berumur 220 tahun. Tulang ikan ini ditemukan di perairan Karimunjawa pada pertengahan bulan April 1989.

Ruang Keempat berisi koleksi kerajinan Jepara, ukir-ukiran, keramik, anyaman bambu dan rotan, hasil karya lomba ukir serta alat transportasi jaman dulu. Bagi para pengunjung yang ingin melihat kilas balik R.A.Kartini bisa berkunjung setiap saat, karena museum ini buka tiap hari ( termasuk hari libur ) dari jam 08.00 sampai dengan jam 17.00 WIB. Dengan tiket masuk tergolomg sangat murah sekali dimana hari biasa dikenakan biaya masuk seribu rupiah untuk dewasa dan enam ratus rupiah untuk anak-anak. Hari Sabtu, Minggu dan Libur Nasional dikenakan biaya masuk seribu lima ratus untuk dewasa dan tujuh ratus lima puluh untuk anak-anak.

Jumat, 04 Maret 2011

BENTENG UJUNG PANDANG

BENTENG Ujung Pandang memiliki sejarah yang unik, karena sedikitnya lima peranan telah dilaluinya. Peranan yang berkesinambungan dan selalu berubah sesuai situasi dan kondisi jamannya. Sehingga sejak didirikan hingga keberadaannya sekarang, dapat menggambarkan lintasan sejarah Sulawesi Selatan. Keunikan itu pula yang mengantarkan benteng ini menjadi salah satu objek wisata yang menarik di wilayah Indonesia belahan timur.

Nama Benteng
Terdaftar dalam Monumenten Ordonatie sebagai monumen bersejarah pada tanggal 23 Mei 1940 dengan nama Fort Rotterdam. Bertindak sebagai pendaftarnya adalah Yayasan Fort Rotterdam, yang diberi tugas oleh pemerintah Belanda pada waktu itu untuk memelihara dan melindungi bangunan-bangunan yang terdaftar di dalamnya dari tindakan yang bertentangan dengan fungsi bangunan yang sebenarnya, misalnya penggunaan benteng sebagai asrama.

Nama "Benteng Ujung Pandang," diambil dari nama ibukota Sulawesi Selatan Ujung Pandang, sejak tahun 1772 sampai beberapa tahun lalu. Menurut cerita lontara (naskah lontar) tempat tersebut banyak sekali tumbuh pandan sebelum didirikan benteng. Benteng ini pernah bernama "Benteng Panyua," dikaitkan dengan bentuk menyerupai penyu sedang merayap ke laut. Ada yang menfasirkan sebagai gambaran tempurung penyu yang keras dan kuat, yang diharapkan dapat melindungi rakyat dan Kerajaan Gowa. Pada jaman pendudukan Belanda disebut Katayya karena benteng ini difungsikan sebagai pusat pemerintahan atau kota.

Sejarah Benteng
Benteng ini menjadi salah satu bukti kejayaan dan kebesaran Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, yang masih berdiri dengan utuh dan megah hingga sekarang, meskipun usianya telah mencapai empat abad. Berkaitan dengan usaha pertahanan, hingga abad ke-17 Kerajaan Gowa membangun 14 benteng. Empat belas benteng tersebut adalah benteng-benteng: Sanrobone, Kale Gowa, Galesong, Barombong, Panakukang, Pattunuang, Sombaopu, Bontorannu, Mariso, Baro Boso, Tallo, Ana' Tallo, Ujung Tanah, dan Ujung Pandang. Satu-satunya yang masih ada dari 14 benteng tersebut adalah Benteng Ujung Pandang, lainnya tinggal nama saja.

Sejarah Benteng Ujung Pandang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Kerajaan Gowa, yang muncul pada abad ke-13. Menurut cerita Lontara (naskah lontar), pendiri Benteng Ujung Pandang adalah raja Gowa ke-10, yaitu I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, yang disebut juga Tunipalangga Ulaweng, pada tahun 1545. Pada mulanya benteng ini dibangun dari tanah liat, tetapi pada masa pemerintahan raja Gowa ke-14, yaitu Tumenanga ri Gaukanna yang disebut juga Sultan Alauddin, diganti dengan lapisan batu pada tahun 1634.

Pada masa pemerintahan Sultan Allaudin dilakukan perjanjian perdamaian dan perdagangan bebas pada tanggal 26 Juni 1937, dengan ketentuan pedagang-pedagang Kompeni tidak diperkenankan menetap di Somboapu. Karena hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, serta didorong oleh kepribadian rakyat Gowa atas kebebasan, harga diri dan kesetiaan kepada raja, raja Gowa ke-16, yaitu Malombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape yang bergelar Sultan Hasanuddin, berperang melawan Kompeni Belanda. Perang pertama kali dilakukan pada bulan April 1655, dengan kemenangan di pihak Kerajaan Gowa. Perang kedua terjadi pada tahun 1660, karena kesalahan strategi, Kerajaan Gowa mengalami kekalahan, ditandai dengan jatuhnya Benteng Panakhukang pada tanggal 12 Juni 1660. Perang berlanjut sampai enam kali, hingga menimbulkan kerugian besar di kedua pihak. Sehingga pada tanggal 18 November 1667 diadakan perjanjian yang disebut "Cappaya ri Bungaya." Dengan Perjanjian Bungaya, secara resmi Benteng Ujung Pandang menjadi milik Kompeni Belanda dan diubah namanya menjadi "Fort Rotterdam." Pada tanggal 15 Juni 1669, Sombaopu yang menjadi ibukota Kerajaan Gowa, jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Baru pada tanggal 22 Juni 1669 Benteng Sombaopu jatuh ke tangan Kompeni Belanda. Sebanyak 272 pucuk meriam termasuk meriam sakti "Anak Makassar" disita. Sultan Hasanuddin turun tahta pada tanggal 29 Juni 1669.

di dalam kompleks benteng dijumpai 15 bangunan rumah dengan gaya arsitektur Belanda abad XVII. Semula bangunan rumah tersebut berbentuk Rumah Makassar dengan tiang tinggi yang terbuat dari kayu. Semuanya dibangun oleh Kompeni Belanda (VOC), kecuali satu bangunan yaitu yang kini disebut bangunan no 11, dibangun oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Perbaikan yang dilakukan oleh Belanda selesai pada tahun 1677.

Fungsi Benteng
Pada jaman kerajaan Gowa, benteng ini berfungsi sebagai benteng pengawal, yang bertugas melindungi Benteng Sombaopu yang berperan sebagai benteng induk, jika mendapat serangan musuh. Pada masa pendudukan Belanda, benteng ini berfungsi ganda yakni sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Semasa pendudukan Jepang teknologi mengalami perkembangan pesat, sedangkan fungsi benteng untuk pertahanan tidak efektif lagi, sehingga fungsi benteng diubah menjadi pusat penelitian ilmiah, khususnya dibidang bahasa dan pertanian.

Setelah Indonesia merdeka, tempat ini dijadikan tempat penampungan bagi orang-orang pemihak Belanda yang terancam jiwanya oleh para gerilyawan yang menaruh dendam. Dengan demikian benteng ini berfungsi sebagai perumahan. Keadaan ini berlangsung hingga saat terjadi "penyerahan kedaulatan" pada tanggal 27 Desember 1949. Benteng ini difungsikan kembali sebagai benteng pertahanan pada saat berlangsung pertempuran selama tujuh hari antara pasukan KNIL dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Seusai perang benteng ini berfungsi kembali sebagai perumahan sipil dan militer.

Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan
Ketentuan yang terdapat dalam surat Kepala Dinas Purbakala tanggal 4 April 1953 No 504/D.4 disebutkan bahwa seusai perang hanya usaha yang bersifat kebudayaan saja yang dapat ditempatkan di dalam benteng. Sehingga pada tahun 1770 sekitar 1.500 jiwa berhasil dipindahkan oleh pemerintah Sulawesi Selatan. Selanjutnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Dr Sjarif Thajeb mengeluarkan surat keputusan No 014/A/1/1974 yang menetapkan bahwa benteng Ujung Pandang dijadikan pusat budaya Ujung Pandang serta perlu dibentuk dewan pembinanya.

Sebagai tindak lanjut usaha termaksud, dilakukan beberapa kegiatan, di antaranya memugar bangunan yang ada di dalamnya. Pada tahun 1974, di tengah lapangan kompleks benteng dibangun sebuah panggung pertunjukan kesenian. Segala jenis kegiatan kesenian yang mencakup seni tari, seni suara, seni musik, drama, pameran purbakala dan sebagainya, dipentaskan di panggung ini. Akhirnya pada tanggal 21 April 1977, benteng Ujung Pandang secara resmi dijadikan Pusat Kebudayaan Sulawesi Selatan.

READ MORE...
http://uun-halimah.blogspot.com/2007/11/benteng-ujung-pandang.html

PANTAI LOSARI


Pantai Losari adalah sebuah pantai yang terletak di sebelah barat kota Makassar. Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam hari menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah.

Dahulu, pantai ini dikenal dengan pusat makanan laut dan ikan bakar di malam hari (karena para penjual dan pedagang hanya beroperasi pada malam hari), serta disebut-sebut sebagai warung terpanjang di dunia (karena warung-warung tenda berjejer di sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih satu kilometer).

Salah satu penganan khas Makassar yang dijajak di warung-warung tenda itu adalah pisang epe (pisang mentah yang dibakar, kemudian dibuat pipih, dan dicampur dengan air gula merah. Paling enak dimakan saat masih hangat).

Saat ini warung-warung tenda yang menjajakan makanan laut tersebut telah dipindahkan pada sebuah tempat di depan rumah jabatan Walikota Makassar yang juga masih berada di sekitar Pantai Losari.

Pada sore hari, semua orang bisa menikmati proses atau detik-detik tenggelamnya matahari sunset.

Rabu, 16 Februari 2011

CAP GO MEH


Cap-Go-Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15. sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan. Artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu. Capgome mulai dirayakan di Indonesia sejak abad ke 17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Semasa dinasti Han, pada malam capgome tersebut, raja sendiri khusus keluar istana untuk turut merayakan bersama dengan rakyatnya.
Setiap hari raya baik religius maupun tradisi budaya ada asal- usulnya. Pada saat dinasti Zhou (770 - 256 SM) setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu. Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgome.

Di barat Capgome dinilai sebagai pesta karnevalnya etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari Kelenteng. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah “Tri Dharma” (Buddhism , Taoism dan Confuciusm). Nama Kelenteng sekarang ini sudah dirubah menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah agama Buddha. Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Kong Hu Chu sebagai agama.

Sedangkan sebutan nama Kelenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan “kelintingan” – lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya Kelenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Kelenteng itu, sebagai Bio baca Miao. Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.

Cagomeh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang udah tua. “Da Bo Gong” ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa. Jadi istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.

Cagomeh tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsay atau tarian singa biasanya disebut “Nong Shi”.

Sedangkan nama “barongsai” adalah gabungan dari kata Barong dalam bahasa Jawa dan Sai = Singa dalam bahasa dialek Hokkian. Singa menurut orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.

Ada dua macam jenis macam tarian barongsay yang satu lebih dikenal sebagai Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk).

Seperti layaknya binatang-binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus diberi makan berupa Angpau yang ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut “Lay See”. Untuk melakukan tarian makan laysee (Chai Qing) ini para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan silat – “Hokkian = kun tao” yang berasal dari bahasa Mandarin Quan Dao (Kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.

Didepan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang menggunakan topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut Shi Zi Lang dan penari inilah yang menggiring barongsai untuk meloncat atau bermain atraksi serta memetik sayuran. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut Xiao Mian Fo.

Pada awalnya tarian barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat. Jadi budaya atau kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dimanfaatkan atau bersinergi dengan lembaga keagamaan.

Walaupun demikian pada saat sekarang ini sudah ada aliran modern lainnya yang tidak mengkaitkan dengan upacara keagamaan sama sekali, karena mereka menilai barongsai hanya sekedar asesories untuk nari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.

Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) tahun 220 – 280 M.

Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan membuat boneka-boneka singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.
Tarian naga (liong) disebut “Nong Long”. Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.

Naga di Cina dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di Cina merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Cina menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang Cina akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.

Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yang boleh menggunakan gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat lainnya hanya 4 jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga cakarnya hanya boleh memiliki 3 jari saja. Naga itu memiliki tiga macam warna, hijau, biru dan merah, dari warna naga tersebut kita bisa melihat kesaktiannya. Naga warna kuning adalah naga yang melambangkan raja.

Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yang panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi ketika mereka menyambut tahun baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.

Naga tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan, maka para petani mengadakan upacara menjemur naga yang dibuat dari tanah liat untuk membalas dendam atau mendemo sang Naga yang tidak mau menurukan hujan, seakan-akan kaum tani tersebut ingin menyatakan “Rasain Lho kering dan panasnya musim kemarau ini!”

Terutama di Jkt dan sekitarnya rasanya kurang komplit apabila pawai Capgome ini tanpa di iringi oleh para pemain musik „Tanjidor“ yang menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yang terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak-budak, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai „Sklaven Orkest“.

Selasa, 01 Februari 2011

KLENTENG BOEN TEK BIO

Klenteng Boen Tek Bio dikenal luas sebagai klenteng tertua di Tangerang yang telah berumur lebih dari 3 abad, meski tidak ada data pasti tentang kapan berdirinya klenteng ini. Komunitas Cina di perkampungan Petak Sembilan diperkirakan mendirikan klenteng ini secara bergotong royong pada sekitar tahun 1684 dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Pada tahun 1844 klenteng ini mengalami renovasi dengan mendatangkan ahlinya dari negeri Cina.

Klenteng Boen Tek Bio (“tempat ibadah sastra kebajikan”) merupakan salah satu dari tiga klenteng yang besar dan berpengaruh serta berusia tua di daerah Tangerang. Dua klenteng lainnya adalah Klenteng Boen Hay Bio (berdiri 1694) dan Klenteng Boen San Bio (1689). Untuk masuk ke klenteng Boen Tek Bio, kendaraan harus diparkir di tepi Jalan Ki Samaun, dan berjalan sejauh sekitar 100 meter ke dalam lingkungan pasar lama.

Ukiran kayu dan tulisan berhuruf Cina. Kayu-kayu pada langit-langit klenteng diperkirakan dibuat pada awal tahun 1800. Berbeda dengan klenteng lain yang pernah saya kunjungi, peraturan memotret di klenteng ini ketat dan kaku.

Patung Hok Tek Tjeng Sien (Dewa Bumi) di ruang utama klenteng, dengan patung Bie Lek Hud di bagian depan. Bi Lek Hud, atau Mi Le Fo dan dalam bahasa sanskerta disebut Maitreya yang berarti “Yang Maha Pengasih dan Penolong”, adalah salah satu dewa yang sangat dihormati. Umumnya orang memuja Bie Lek Hud untuk memperoleh kekayaan dan kebahagiaan.

Sebuah hiasan gantung bergambar naga yang indah, yang juga banyak saya temukan di klenteng lain, serta ornamen kayu yang menghias dinding klenteng.

Keberadaan klenteng ini tidak lepas dari sejarah kedatangan orang Cina di kota Tangerang yang terjadi pada abad ke-15. Pada tahun 1407, seperti dicatat dalam buku sejarah Sunda berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) yang membawa tujuh kepala keluarga dengan sembilan orang gadis, terdampar di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Teluk Naga. Tujuan mereka semula adalah untuk pergi ke Jayakarta.

Pada waktu mereka meminta pertolongan kepada Sanghyang Anggalarang, penguasa daerah di bawah Sanghyang Banyak Citra dari Parahyangan, konon para pegawainya jatuh cinta pada gadis-gadis itu dan kesembilan gadis itu pun mereka kawini. Rombongan itu kemudian mendapat sebidang tanah di daerah Kampung Teluk Naga itu.

Hiasan pada hiolo yang dibuat pada tahun 1805. Salah satu versi menyebutkan bahwa pada awal abad ke 18 kaum Cina menyebut wilayah Tangerang dengan nama “Boen-Teng”, sehingga orang Cina yang tinggal di sana disebut sebagai Cina Boen Teng, yang lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi Cina Benteng.

Alunan asap hio melambai indah dari ujung batang hio yang tengah terbakar.
Versi lain asal muasal sebutan Cina Benteng adalah konon ketika itu di tepi Sungai Cisadane dekat pusat kota Tangerang yang sekarang pernah berdiri sebuah benteng yang disebut Benteng Makassar. Saat itu orang-orang Cina yang kurang mampu terpaksa harus tinggal di luar benteng, di daerah Sewan (di belakang Bendungan Pintu Air Sepuluh) dan Kampung Melayu. Dari sana kemudian muncul istilah Cina Benteng.

Sebuah lonceng tua di halaman klenteng yang konon berasal dari negeri Cina dan dibuat tahun 1835.
Kedatangan orang-orang Cina di kawasan Pasar Lama ini, berlangsung setelah peristiwa pembantaian ribuan orang Cina yang terjadi di tempat yang sekarang bernama Taman Fatahillah, Jakarta, pada tahun 1740, dalam sebuah usaha pemberontakan yang gagal.

Belanda kemudian mengirimkan orang-orang Cina untuk bertani ke daerah Tangerang dan mendirikan permukiman berupa pondok-pondok, yang sekarang dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Aren, Pondok Jagung, dll., selain perkampungan di Petak Sembilan di kawasan Pasar Lama ini.

Sebuah patung singa di halaman depan klenteng. Mungkin karena berada lingkungan pasar yang ramai, klenteng ini rupanya tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah namun halamannya juga dipakai sebagai tempat bersantai, ngobrol dan main catur.

Tempat pembakaran yang dibuat pada abad 19. Upacara besar yang banyak dikunjungi orang di Klenteng Boen Tek Bio adalah Upacara Gotong Toapekong yang diarak mengelilingi daerah Pasar Lama dan dihadiri oleh perwakilan dari seluruh klenteng di Indonesia. Saat itu juga ada pertunjukan Wayang Potehi yang langka. Upacara Gotong Toapekong yang pertama kali berlangsung di Tangerang pada tahun 1856 ini dilakukan setiap 12 tahun sekali, bertepatan dengan Tahun Naga, sehingga upacara berikutnya akan berlangsung pada tahun 2012.

read more :

thearoengbinangproject.com


Kamis, 20 Januari 2011

TELAGA SARANGAN

Pemandangan Telaga Sarangan akan memanjakan mata, karena Anda dapat melihat telaga yang luas dan pegunungan hijau Sidoramping di sekitar Gunung Lawu yang menjulang tinggi. Ditambah lagi dengan air telaga yang tenang dan menjadi cermin dari pegunungan dan gunung di sekelilingnya. Memandangi deretan pegunungan dan gunung di sini juga membuat perasaan lebih tenang dan damai ditambah dengan udara sejuk pegunungan dengan suhu sekitar 18-23 derajat Celcius. Udara sejuk pegunungan bisa Anda nikmati karena Telaga Sarangan terletak pada ketinggian sekitar 1000 meter dari permukaan laut.
Di pinggir telaga tersedia sepeda air yang menyerupai bebek dan perahu boat. Ini dapat menjadi sarana bagi Anda yang ingin mengelilingi telaga melalui air. Atau Anda dapat berkeliling menggunakan kuda atau delman yang ditawarkan penduduk sekitar. Pasti hal ini dapat menyenangkan buah hati Anda. Atau bagi Anda yang ingin berolahraga, Anda dapat mengelilingi telaga ini dengan berjalan kaki atau berlari. Anda juga akan menjumpai hutan pinus di lereng pegunungan di sekeliling Telaga Sarangan. Suasana yang sejuk dan indah pasti akan membuat olahraga menjadi menyenangkan.

Dekat dengan Telaga Sarangan, ada pintu masuk menuju air terjun. Ada tiga buah air terjun yang dapat Anda kunjungi di sini yaitu air terjun Watu Ondo, Pundak Kiwo, dan Jarakan. Di dekat pintu masuk salah satu air terjun ini, ada bekas pesawat yang dijadikan monumen mengingat Kabupaten Sarangan bertetangga dengan Kota Madiun yang adalah Pangkalan Utama AURI.

Jalan menuju air terjun tidak sulit, bahkan setengah perjalanan bisa dilakukan dengan mobil. Perjalanan menuju air terjun akan menjadi perjalanan yang menyenangkan. Anda akan melewati lereng gunung yang digunakan untuk perkebunan. Anda dapat melihat berbagai tanaman sayuran yang mungkin jarang ditemui di kota. Anda juga dapat mencelupkan kaki Anda ke dalam air bening yang dingin dan segar yang digunakan untuk pengairan perkebunan. Hal ini dapat menjadi sarana pembelajaran yang menarik untuk anak Anda.


READ MORE....
http://kumpulan.info/wisata/tempat-wisata/53-tempat-wisata/120-telaga-sarangan-magetan.html#telaga-sarangan

DANAU TOBA

Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.

Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.

Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.

Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.

Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erupsi supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Bukti-bukti yang ditemukan, memperkuat dugaan, bahwa kekuatan letusan dan gelombang lautnya sempat memusnahkan kehidupan di Atlantis (wikipedia)